Nilai kehidupan
adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya adat kebiasaan dan
sopan santun (Sutikna dalam Sunaryo.2002:168) Sopan santun, adat istiadat dan
kebiasaan serta nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah nilai-nilai hidup
yang menjadi pegangan seseorang dalam kedudukannya sebagai warga negara
Indonesia dalam hubungannya dengan negara serta dengan sesama warga negara.
Moral adalah ajaran
tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban. Dalam moral
diatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan. Dan suatu
perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan dengan
kemampuan membedakan antara perbuatan yang benar dan salah. Dengan demikian
moral merupakan kendali dalam bertingkah laku.
Dalam kaitannya dengan pengamalan
nilai-nilai, maka moral merupakan kontrol dalam bersikap dan bertingkah laku
sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dimaksud. Misalnya dalam pengamalan nilai
hidup tenggang rasa, dalam perilaku seseorang akan selalu memperhatikan
perasaan orang lain dan dapat membedakan tindakan yang benar dan yang salah.
Nilai-nilai
kehidupan sebagai norma dalam masyarakat senantiasa menyangkut persoalan antara
baik dan buruk, jadi berkaitan dengan moral.
a.
Karakteristik Nilai dan Moral Remaja
Nilai-nilai
kehidupan yang perlu diinformasikan dan selanjutnya dihayati oleh para remaja
tidak terbatas pada adat kebiasaan dan sopan santun saja, namun juga
seperangkat nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, misalnya nilai
keagamaan, kemanusiaan, keadilan, estetik, etik, dan intelektual dalam bentuk
yang sesuai dengan perkembangan remaja.
Salah satu tugas perkembangan yang harus
dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok dari
padanya dan kemudian bersedia membentuk perilaku agar sesuai dengan harapan
sosial masyarakat tanpa terus dibimbing dan diawasi seperti masih anak-anak.
Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku umum dan
merumuskannya ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi
perilakunya. Michel (dalam Sunaryo.2002:171) mengemukakan lima perubahan dasar
dalam moral yang harus dilakukan oleh remaja, yaitu:
1)
Pandangan moral individu makin lama makin menjadi abstrak.
2)
Keyakinan moral lebih terpusat pada apa yan benar dan kurang pada apa yang
salah. Keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominan.
3)
Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Hal ini mendorong remaja lebih berani
mengambil keputusan terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.
4)
Penilaian moral menjadi egosentris.
5)
Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa
penilaian moral merupakan bahan emosi danmenimbulkan ketegangan emosi.
Kehidupan moral merupakan problematik
yang pokok pada masa remaja. Maka perlu kiranya untuk meninjau perkembangan
moralitas ini mulai dari waktu anak dilahirkan, untuk dapat memahami mengapa
justru pada masa remaja hal tersebut menduduki tempat yang sangat penting.
Menurut Kolberg
(dalam sunaryo.2002:172) ada tingkat perkembangan moral, yaitu:
1)
Prakonvensional (stadium 1 dan 2)
Pada stadium satu,
anak berorientasi kepada kepatuhan dan hukuman. Anak mengganggap baik atau
buruk atas dasar akibat yang ditimbulkannya. Anak hanya mengetahui bahwa
aturan-aturan yang ditentukan oleh adanya kekuasaan yang tidak bisa diganggu
gugat. Ia hanya menurut atau kalau tidak akan kena hukuman.
Pada stadium dua, berlaku prinsip relativistik-hedonism. Pada tahap ini, anak tidak lagi
secara mutlak tergantung kepada aturan yang ada di luar dirinya, atau
ditentukan oleh orang lain, tetapi mereka sadar bahwa setiap kejadian mempunyai
beberapa segi. Jadi ada relativisme, artinya bergantung pada
kebutuhan dan kesanggupan seseorang (hedonistik). Misalnya mencuri ayam karena
kelaparan, karen aperbuatan mencurinya untuk memenuhi kebutuhannya (lapar) maka
mencuri dianggap sebagai perbuatan yang bermoral, meskipun perbuatan mencuri
itu sendiri diketahui sebagai perbuatan yang salah karena ada akibatnya yaitu
hukuman.
2)
Konvensional (Stadium 3 dan 4)
Stadium tiga
menyambut orientasi mengenai anak yang baik. Pada stadium ini anak mulai
memasuki belasan tahun, dimana anak memperlihatkan orientasi perbuatan-perbuatan
yang dapat dinilai baik atau tidak baik oleh orang lain. Masyarakat adalah
sumber belajar yang menentukan apakah perbuatan seseorang baik atau tidak.
Menjadi ‘anak manis” masih sangat penting dalam stadium ini.
Stadium empat yaitu
mempertahankan norma-norma sosial dan otoritas. Pada stadium ini perbuatan baik
yang diperlihatkan seseorang bukan hanya agar dapat diterima oleh lingkungan
masyarakatnya, melainkan bertujuan agar dapat ikut mempertahankan aturan-aturan
atau norma-norma sosial. Jadi perbuatan baik merupakan kewajiban untuk ikut
melaksanakan aturan yang ada, agar tidak timbul kekacauan.
3)
Pasca-Konvensional (stadium 5 dan 6)
Stadium 5 merupakan
tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial.
Pada stadium ini ada hubungan timbal balik antara dirinya dengan lingkungan
sosialdengan masyarakat.Seseorang harus memperlihatkan kewajiban, harus sesuai
dengan tuntutan norma-norma sosial karena sebaliknya, lingkungan sosial atau
masyarakat akan memberikan perlingungan kepadanya.
Originalitas remaja
juga tampak dalam hal ini. Pertama, remaja masih mau diatur secara ketat oleh
hukum-hukum umum yang lebih tinggi. Meskipun di stadium ini kata hati sudah
mulai berbicara, namun penilaian – penilainnya masih belum timbul dari kata
hati yang sudah betul-betul diintenalisasi, yang sering tampak pada sikap yang
kaku.
Stadium enam
disebut prinsip universal. Pada tahap ini ada norma etik di samping norma
pribadi dan subyektif. Dalam hubungan dan perjanjian antara seseorang dengan
masyarakatnya ada unsur-unsur subyektif yang menilai apakah suatu perbuatan itu
baik atau tidak. Subyektivisme ini berarti ada perbedaan penilaian antara
seseorang dengan orang lain. Dalam hal ini, unsur etika akan menentukan apa
yang boleh dan baik dilakukan atau sebaliknya. Remaja mengadakan
penginternalisasian moral yaitu remaja melakukan tingkah laku – tingkah laku
moral yang dikemudikan oleh tanggung jawab batin sendiri. Tingkat perkembangan
moral pasca konvensional harus dicapai selama masa remaja.
Menurut Furter (Dalam Monk,1984:257)
menjadi remaja berarti mengerti nilai-nilai. Remaja dituntut tidak hanya
mengerti nilai-nilai saja, melainkan juga dapat menjalankannya. Hal ini berarti
bahwa remaja sudah dapat menginternalisasikan penilaian moral, menjadikannya
sebagai nilai pribadi, dan penginternalisasian nilai akan tercermin dalam sikap
dan tingkah lakunya.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
perkembangan Nilai.
Berdasar sejumlah
hasil penelitian, perkembangan internalisasi nilai terjadi melalui identifikasi
dengan orang-orang yang dianggapnya sebagai model. Bagi anak-anak usia 12-16
tahun, gambaran ideal identifikasi adalah orang dewasa yang simpatik, teman-teman,
orang-orang terkenal, dan hal-hal ideal yang diciptakannya sendiri.
Bagi para ahli psikoanalisa perkembangan
moral dapandang sebagai proses internalisasi norma-norma masyarakat dan
dipandang sebagai kematangan dari sudut organik biologis. Menurut psikoanalisa, moral dan nilai menyatu
dalam konsep superego. Superego dibentuk melalui jalan internaliasi larangan
dan perintah yang datang dari luar (khususnya orang tua) sehingga akhirnya
terpencar dari dalam diri sendiri. Karena itu, orang-orang yang tak mempunyai
hubungan harminis dengan orang tuanya di masa kecil, kemungkinan besar tidak
mampu mengembangkan super ego yang cukup kuat, sehingga mereka bisa menjadi
orang yang sering melanggar norma masyarakat.
Teori lain yang non psikoanalisa
beranggapan bahwa hubungan anak dengan orang tua bukan satu-satunya sarana
pembentuk moral. Para sosiolog beranggapan bahwa masyarakat sendiri mempunyai
peran penting dalam pembentukan moral. Tingkah laku yang terkendali disebabkan
oleh adanya kontrol dari masyarakat itu sendiri yang mempunyai sanksi-sanksi
tersendiri buat pelanggarnya (sarlito, 1992:92)
Di dalam usaha membentuk tingkah laku
sebagai pencerminan nilai-nilai hidup tertentu ternyata bahwa faktor
lingkungan mmegang peranan penting. Di antara segala unsur lingkungan sosial
yang berpengaruh, tampaknya sangat penting adalah unsur lingkungan berbentuk
manusia yang langsung dikenal atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujudan
dari nilai-nilai tertentu. Dalam hal ini lingkungan sosial terdekat yang
terutama terdiri dari mereka yang berfungsi sebagai pendidik dan pembina. Makin
jelas sikap dan sifat lingkungan terhadap nilai hidup tertentu dan moral makin
kuat pula pengaruhnya untuk membentuk tingkah laku yang sesuai.
Teori perkembangan moral yang dikemukakan
oleh Kohlberg menunjukkan bahwa sikap moral bukan hasil sosialisasi atau
pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan dan hal-hal lain yang berhubungan
dengan nilai budaya. Tahap-tahap perkembangan moral terjadi dari aktifitas
spontan pada anak-anak (singgih G. 1990:202). Anak memang berkembang melalui
interaksi sosial, tetapi interaksi ini mempunyai corak yang khusus, yang
dipengaruhi faktor pribadi.
Upaya mengembangkan nilai danmoral
Perwujudan nilai, moral, dan sikap tidak
terjadi dengan sendirinya dan tidak semua individu mencapai tingkat
perkembangan moral seperti yang diharapkan. Oleh karena itu orang dewasa perlu
membantu remaja dengan memberi pembinaan. Adapun upaya yang dapat dilakukan
dalam mengembangkan nilai, moral, dan sikap remaja adalah sebagai berikut:
1)
Menciptakan komunikasi.
Dalam komunikasi
didahului dengan pemberian informasi tentang nilai dan moral. Anak tidak
pasif mendengarkan dari orang dewasa, bagaimana seseorang harus bertingkah laku
sesuai dengan norma dan nilai moral, tetapi anak-anak harus dirangsang supaya
lebih aktif. Hendaknya ada upaya untuk mengikutsertakan remaja dalam beberapa
pembicaraan dan dalam pengambilan keputusan keluarga, sedangkan dalam kelompok
sebaya, remaja turut serta aktif dalam tanggung jawab dan penentuan maupunkeputusan
kelompok.
Di sekolah remaja
hendaknya diberi kesempatan berpartisipasi untuk mengembangkan aspek moral
misalnya dalam kerja kelompok, sehingga dia belajar tidakmelakukan sesuatu yang
akan merugikan orang lain karena hal itu tidak sesuai dengan nilai dan norma
moral. Mempelajari nilai memerlukan kesempatan untuk diterima dan diresapkan
sebelum menjadi bagian integral dari tingkah laku seseorang. Selanjutnya,
nilai-nilai yang dipelajari akan berkembang dalam konteks kehidupan bersama.
2)
Menciptakan iklim yang sesuai
Seseorang yang
mempelajari nilai hidup tertentu danmoral, kemudian berhasil memiliki sikap dan
tingkah laku sebagai pencerminan nilai hidup itu umumnya adalah seorang yang
hidup dalam lingkungan yang positif, jujur, dan konsekuen mendukung bentuk
tingkah laku yang merupakan pencerminan nilai hodup tersebut. Ini berarti
abahwa usaha pengembangan tingkah laku nilai hidup hendaknya tidak hanya
mengutamakan pendekatan intelektual semata tetapi memerlukan lingkungan yang
kondusif di mana faktor-faktor lingkungan itu sendiri merupakan penjelmaan yang
kongkrit dari nilai hidup tersebut. Karena lingkungan merulakan faktor yang
cukup luas dan sangat bervariasi, maka tampaknya yang perlu diperhatikan adalah
lingkungan sosial terdekat yang terutama terdiri dari mereka yang berfungsi
sebagai pendidik dan pembina yaitu orang tua dan guru.
Para remaja sering bersikap kritis,
menentang nilai dan dasar hidup orang tua dan orang dewasa lainya. Ini tidak
berarti mengurangi kebutuhan mereka akan suatu sistem nilai yang tetap dan
memberi rasa aman kepada remaja. Mereka tetap mengingatkan suautu sistem nilai
yang akan menjadi pegangan dan petunjuk bagi perilaku mereka. Karena itu, orang
tua dan guru serta orang dewasa lainnya perlu memberi model atau contoh
perilaku yang merupakan perwujudan nilai yang diperjuangkan.
Usia remaja, moral merupakan suatu
kebutuhan tersendiri oleh karena itu mereka sedang dalam keadaan membutuhkan
pedoman atau petunjuk dalam rangka mencari jalannya sendiri. Pedoman ini juga
untuk menumbuhkan identitas dirinya, menuju kepribadian yang matang dan
menghindarkan diri dari konflik-konflik peran yang selalu terjadi dalam masa
transisi ini.
Nilai-nilai
keagamaan perlu mendapat perhatian, karena agama juga mengajarkan tingkah laku
yang baik dan buruk sehingga secara psikologis berpedoman kepada agama juga
mengajarkan tingkah laku yang baik dan buruk, sehingga secara psikologis
berpedoman kepada agama.
Akhirnya, lingkungan yang lebih bersifat
mengajak, mengundang, atau memberi kesempatan, akan lebih efektif dari pada
lingkungan yang ditandai dengan larangan-larangan dan peraturan yang serba
membatasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar