Metode-Metode
Pembinaan Moral Remaja dengan Pendekatan Lingkungan Sosialisasi
Ketika berbicara tentang kehidupan
para remaja, sangat menarik sekali ketika melihat suatu fenomena aneh yang
seharusnya menjadi sebuah masukkan bagi kita semua. Fenomena ini berkutat pada
masalah perilaku dan moral para remaja saat ini. Permasalahan tentang perilaku
dan moral yang terjadi pada mereka begitu kompleks, ini terlihat dari berbagai
berita dari sumber terpercaya yang ada. Berikut pemaparan hasil penemuan
mereka. “Sebanyak 32 persen remaja usia 14 hingga 18 tahun di kota-kota besar
(Jakarta, Surabaya, dan Bandung) di Indonesia pernah berhubungan seks.” Ini
merupakan sebuah judul tulisan yang ada di situs resmi Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI). Selanjutnya tulisan di situs Badan Kordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) yang mengatakan bahwa,” Sejak lebih dari setahun
terakhir, pasien HIV baru bertambah menjadi sebanyak 30 sampai 50 orang setiap
bulan. Sebagian besar (lebih dari 75 persen) berasal dari pemakai narkotik.
Kebanyakan mereka remaja usia 14 sampai 30 tahun.” Atau informasi dari
Direktorat Jendral Hak Asasi Manusia (Dirjen HAM) di situsnya, “Ada sekitar 30
kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri di kalangan anak dan remaja berusia 6
sampai 15 tahun yang dilaporkan media massa tahun 2002-2005. Fenomena ini tidak
lepas dari kasus bullying yang dialami korban selama berada di sekolah.”
Kasus-kasus tersebut merupakan sebagian kecil dari berbagai kasus yang lebih
rumit lagi bentuknya dengan para remaja yang menjadi subjeknya.
Beberapa contoh kasus di atas
terjadi dengan ruang lingkup moral, yang sebenarnya memberikan
pesan kepada kita bahwa ada yang salah dengan moral para remaja saat ini.
Kasus-kasus tersebut merupakan hal kecil yang terlihat oleh kita, sedangkan
dibelakangnya itu masih ada kasus besar yang menunggu supaya terlihat oleh
kita. Ketika dikritisi, ternyata kasus-kasus ini memiliki hubungan erat dengan
penurunan moral yang terjadi pada para remaja. Tidak bisa dipungkiri bahwa saat
ini juga banyak orang tua yang khawatir akan para remajanya dimana nantinya
mereka tumbuh tanpa memiliki moral (Santrock, 2003). Sehingga ini sebenarnya
perlu diberikan perhatian khusus untuk dicarikan jalan keluarnya.
Seorang remaja akan mengalami
perkembangan moral dirinya seiring dengan semakin luasnya ia berinteraksi. Pada
awalnya, seorang remaja hanya berinteraksi di lingkungan keluarganya. Disini
pembentukan dasar-dasar moral terjadi dan akan menjadi acuan bagi para remaja
ketika ia berinteraksi (Santrock, 2003). Semakin lama, remaja akan mengenal
yang namanya Lingkungan sekolah, kelompok ataupun masyarakat luas, yang pada
lingkungan ini standar moral sudah bermacam-macam. Sehingga disini diperlukan
metode untuk pembentukan karakter remaja yang bermoral mulai dari orang tua
hingga ke lingkungan pergaulannya.
Selanjutnya, dalam tulisan ini akan
dijelaskan metode pembinaan moral berdasarkan teori-teori yang diperoleh
melalui studi pustaka oleh penulis dari beberapa sumber buku dan jurnal
penelitian. Dalam pembahasan metode-metodenya terdapat alasan metode itu
terbentuk, penelitian yang mendukung dan bagaimana pentingnya metode tersebut
bagi remaja. Sehingga pada akhirnya metode yang terbentuk ini akan digunakan
oleh masyarakat dalam pembinaan moral remaja di kehidupan sehari-hari.
Sebelum kita memulai pembahasan
tentang metode pembentukan moral yang diberikan oleh lingkungan kepada remaja,
ada baiknya kita mengetahui pengertian moral itu sendiri. Menurut Santrock
(2003), moral lebih kuat mengenai tingkah laku yang dapat diterima dan yang
tidak dapat diterima, tingkah laku etis, atau tidak etis, dan cara-cara dalam
berinteraksi. Sedangkan Henslin (2007) berpendapat bahwa moral itu aturan
perilaku yang menjadi standar seseorang dalam menentukan sesuatu itu baik dan
buruk. Dan Wulansari (2009) mengatakan bahwa moral secara luas bisa mangatur masalah
kemasyarakatan. Sehingga moral dapat diartikan sebagai perilaku yang memiliki
aturan dengan standar tertentu yang dianggap baik oleh masyarakat secara
keseluruhan.
Selanjutnya penulis juga akan
membahas tentang moral yang baik itu seperti apa. Menurut teori Moralitas
otonom Piaget, seseorang bertindak didasarkan pada hubungan kerjasama dan
pengakuan bersama terhadap kesetaraan diantara individu yang otonom (Slavin,
2008). Disini seseorang bertindak sesuai dengan sebuah kesepakatan yang telah
dibuat dan saling menghargai terhadap tindakan yang dilakukan. Sedangkan
Kohlberg dalam teori penalaran Postkonvensiolnal mengatakan bahwa Moralitas
diinternalisasi sepenuhnya dan tidak lagi didasarkan pada standar orang lain
tetapi sesuai dengan standar kode moral pribadinya (Santrock, 2003). Tentang
standar moral ini, seseorang berperilaku karena kesadarannya sendiri tanpa ada
pemicu-pemicu dari pihak lain. Sehingga moral yang baik itu dapat dikatakan
ketika seorang itu berusaha untuk bertindak sesuai dengan perspektif banyak
pihak dan dilakukan berdasarkan kesadaran pribadi tanpa dorongan orang lain.
Metode-metode yang akan dijelaskan
disesuaikan dengan pembagian kelompok lingkungan yang didasarkan oleh teori
ekologi Bronfenbrenner dan pembagian kelompok oleh Henslin. Urie Bronfenbrenner
mengusulkan salah satu bentuk lingkungan yaitu mikrosistem. Mikrosistem adalah
lingkungan di mana individu tinggal dan di dalamnya banyak sekali terjadi
interkasi secara langsung. (Santrock, 2003) Interaksi ini akan menjadi pembelajaran
bagi remaja dalam menentukan moral yang akan dibentuk. Mikrosistem mencakup
keluarga individu, teman sebaya, sekolah dan lingkungan tempat tinggal.
Selanjutnya pengelompokan Primer dan sekunder oleh Henslin (2007). Kelompok
primer terdiri dari keluarga dan kelompok teman atau bahkan geng. Lalu kelompok
sekunder lebih dikatakan sebagai kelompok dimana kita memperoleh pendidikan
secara formal dan kita bekerja. Contohnya seperti sekolahan, kantor, dll.
Berdasarkan pada teori diatas,
penulis membuat pengelompokan lingkungan yang nantinya memberikan kontribusi
yang lebih banyak dibandingkan yang lain dalam membina moral para remaja.
Kelompok itu terdiri dari keluarga, lingkungan sekolah, dan kelompok teman
sebaya. Nantinya pada setiap kelompok atau lingkungan tadi akan ada metode
pembinaan moralnya masing-masing.
Pembahasan diawali dari lingkungan
dimana seorang anak tumbuh menjadi remaja, yaitu lingkungan keluarga. Keluarga
tidak bisa dijauhkan dari masalah perkembangan moral seorang remaja. Dimulai
dari orangtua, mereka memiliki peran penting dalam pembentukan moral anaknya.
Begitu juga adik, kakak, atau anggota keluarga yang lainnya. Keluarga pada
hakekatnya merupakan wadah pembentukan masing-masing anggotanya (Zulkarnaen,
2010). Setiap dari mereka memiliki kontribusi masing-masing yang nantinya akan
menjadikan dasar atau landasan moral bagi seorang remaja.
Selanjutnya adalah bagaimana
keluarga bisa membentuk moral dasar bagi seorang remaja, dalam hal ini akan
lebih ditekankan pada peran orang tua. Orang tua adalah contoh moral yang
paling tepat untuk ditiru oleh remaja (Santrock, 2003). Jika dilihat dari
perspektif remaja itu sendiri, paling tepat ditiru karena pada proses interaksi
awal, orangtua adalah orang yang paling dekat dengan remaja. Lalu karena masih
kurangnya pergaulan remaja maka standar moral orangtua hanya satu-satunya
contoh yang tersedia sehingga mau tidak mau harus mencontoh itu. Dan juga
perilaku seorang remaja masih bisa dikontrol oleh orangtua dan standar yang
digunakan adalah standar orangtua. Jadi untuk menyesuaikan perilaku mereka
dengan standar orangtua, maka remaja harus berusaha untuk berperilaku yang
sesuai dengan standar yang ada, yaitu standar orang tua.
Hal lain diungkap oleh Henslin
(2007) yang mengatakan bahwa proses interakasi dengan keluarga merupakan
peletakkan unsur dasar kepribadian. Ketika kita berproses, ada aksi dan reaksi
antara remaja dan orang tuanya sehingga proses itu akan menjadi rujukan mereka
dalam berinteraksi dengan orang-orang yang berada dilingkungan diluar keluarga
Hal yang hampir senada juga
diungkapkan oleh Santrock (2003) bahwa seorang remaja akan berperilaku sesuai
dengan apa yang dilakukan oleh orang tuanya. Ketika orangtua melakukan suatu
hal, lalu terlihat oleh anaknya, maka hal tersebut akan dicontoh oleh anak
tersebut. Lalu hal tersebut akan dipraktekkan juga ke orang lain atau malah ke
orang tua itu sendiri. Ketika orangtua jujur dalam hal apapun ke anaknya, maka
ini akan menjadi contoh bagi remaja, sehingga mereka juga akan jujur.
Kejujujran tersebut akan mereka praktekkan ke orangtuanya atau teman sebayanya
ataupun kesemua orang. Sehingga perilaku orangtua juga bisa menjadi landasan
dalam terbentuknya moral siswa.
Dapat disimpulkan di atas bahwa
orangtua memiliki kuasa yang lebih dalam membentuk moral para remaja, sehingga
penulis menyarankan untuk menggunakan metode otoritatif oleh orang tua.
Sebenarnya banyak metode pembinaan moral untuk remaja, tetapi penulis lebih
ingin fokus pada dampak dari sikap orangtua dan proses interaksi yang terjadi
antara remaja dan orangtuanya, sehingga motode otoritatif ini yang penulis
pilih. Selain itu juga ada faktor lain seperti teori tentang perkembangan moral
remaja, penelitian yang telah dilakukan dan survey tentang metode ini dan juga
hal-hal lainnya.
Metode otoritatif dikembangkan Diana
Baumrind (1966) dimana metode ini merupakan salah satu dari tiga metode
pengasuhan anak yang ia paparkan. Metode ini dilakukan oleh orangtua dengan
mengarahkan remaja melakukan kegiatan secara rasional dan sesuai dengan
permasalahan yang ada. Dengan metode ini para remaja diberikan kebebasan dalam
bertindak dengan batasan-batasan untuk mengendalikan diri mereka. Sehingga di
dalam metode ini akan terjadi konsensus atau kesepahaman antara orangtua dan
remaja. Hal ini terjadi karena orangtua yang memiliki aturan tersendiri dan
remaja juga sudah memiliki kebebasan dalam menentukan aturannya. Pada konsensus
nantinya akan terjadi komunikasi verbal yang bebas dengan orangtua yang
bersikap hangat dan membesarkan hati remajanya sedangkan remaja bisa memaparkan
ide-ide nya secara bebas. Sehingga nantinya akan tercipta remaja yang memiliki
karekter atau moral yang kompeten.
Dalam penelitiannya, Baumrind (1966)
menyimpulkan bahwa sikap orang tua yang otoritatif lebih mendukung pembentukkan
karakter seorang remaja dibandingkan sikap atau pola asuh yang lain. Pemberian
kebebasan kepada remaja pada metode ini memberikan kesempatan kepada mereka
untuk mengembangkan karakter diri mereka secara bebas tetapi dengan batasan
yang telah digariskan oleh orangtua. Sehingga perkembangan karakter dan juga
moral akan fokus dan tidak menyimpang. Lalu, penelitian Baumrind ini didukung
oleh sebuah survey yang dilakukan oleh situs Free Online Research Paper tentang pandangan remaja
terhadap metode asuh orang tua. Situs ini memaparkan bahwa 73% remaja yang
menjadi koresponden memiliki orangtua yang menerapkan metode otoritatif dan
mereka memberikan penilaian yang tinggi terhadap metode ini. Santrock (2003)
pun memperkuat bahwa pola otoritatif ini akan menimbulkan remaja yang
bertanggung jawab dan sadar diri secara social. Sehingga metode otoritatif ini
memiliki poin positif terhadap perkembangan moral remaja dan tidak salah jika
sangat dianjurkan bagi orangtua untuk mulai menerapkan metode ini kepada
remajanya.
Selanjutnya masuk ke dalam
pembahasan tentang lingkungan sekolah. Santrock (2003) mengibaratkan sekolah
sebagai salah satu lingkungan yang bagus bagi perkembangan moral remaja.
Lingkungan disini lebih ditekankan pada anggota sekolah dan kebijakan sekolah
sehingga pendidikan moral yang akan dibahas ini, lebih ditekankan pada poin
tersebut dalam membentuk moral remaja.
Metode yang digunakan adalah metode
pengajaran moral, dan metode mengajar dengan nilai-nilai moral. Metode-metode
ini telah diteliti oleh Gary D. Fenstermacher, Professor di Universitas
Michigan, beserta kedua asistennya Richard D. Osguthorpe dan Matthew N. Sanger.
Dalam penilitiannya, mereka
mengamati dua sekolah yang menggunakan metode berbeda dalam membina moral para
siswanya dikarenakan perbedaan latarbelakang dari kedua sekolah itu. Sekolah
pertama, mereka sebut dengan K-5, menggunakan metode pengajaran mengenai moral.
Metode ini menekankan pada teori-teori untuk memberikan pemahaman moral kepada
siswa. Disekolah K-5 ini, pembelajaran moral dimasukkan ke dalam kurikulum
sekolah. Selain itu juga terdapat program-program pembinaan tentang kejujuran,
empati, toleransi, kerjasama, dan lain-lain yang menunjang pengembangan moral
siswa. Lalu sekolah yang kedua, mereka sebut dengan K-8, menggunakan metode pembinaan
moral dengan menanamkan nilai-nilai moral dalam setiap interaksi yang terjadi
dengan siswa. Metode ini lebih menekankan pada praktik dan pemberian contoh
sehingga siswa beserta masyarakat sekolah terbiasa dengan perilaku-perilaku
yang bermoral. Membiasakan penerapan nilai-nilai moral diharapkan bisa
menciptakan siswa-siswa yang memiliki pribadi bermoral. Setelah mengamati dan
mewawancarai berbagai pihak di kedua sekolah, mereka menyimpulkan bahwa
penanaman nilai-nilai moral melalui interaksi dan pemberian contoh secara
langsung itu baik. Tetapi mereka juga menambahkan bahwa ada baiknya jika ada
hal lain yang membantu berjalannya metode itu, seperti pembelajaran tentang
moral itu sendiri (Fenstermacher, Osguthorpe, & Sanger, 2009).
Dari hasil penelitian yang
dijelaskan diatas, dapat kita simpulkan bahwa salah satu metode pembinaan
remaja di lingkungan sekolah adalah dengan menerapkan nilai-nilai moral dalam
setiap interaksi antar anggota sekolah yang diiringi dengan pengajaran
nilai-nilai moral yang membantu interaksi tersebut. Sehingga nantinya dengan
penerapan metode ini, diharapkan terbentuknya remaja-remaja dengan kepribadian
yang bermoral.
Salah satu bentuk penerapan metode
pembentukkan moral dengan pengajaran adalah Pelajaran nilai-nilai moral seperti
yang diterapkan oleh Negara Singapura, yang dijelaskan oleh Nur Arifah (2010)
dalam tulisannya. Dalam kebijakannya, Singapura mewajibkan pelajaran ini untuk
semua sekolah baik negeri maupun swasta. Kebijakan atas pelajaran nilai-nilai
moral tersebut cukup mempengaruhi aspek kehidupan remaja Singapura. Bentuk
lainnya adalah dengan mengimplementasikan pendidikan moral ke sistem sekolah
(Slavin, 2008). Realisasinya adalah dengan membuat suatu peraturan tentang
standar moral yang harus dipatuhi oleh seluruh perangkat sekolah dan
menciptakan pelajaran atau pembinaan khusus moral bagi siswa. Dan juga bentuk
kebijakan lainnya, yang masih sangat banyak jika diteliti dan diamati lebih
jauh. Yang apapun bentuknya ini memiliki tujuan untuk menciptakan remaja-remaja
yang bermoral.
Sedangkan bentuk penerapan metode
pembentukan moral dengan menanamkan nilai-nilai moral ketika berinteraksi
adalah ketika guru mengajar. Guru memiliki peran penting dalam perkembangan
moral remaja dimana dari sejak taman kanak-kanak hingga kuliah seorang remaja
akan berinteraksi dengan guru (Zulkarnaen, 2010). Guru juga memiliki pengaruh
penting di dalam kelas, yaitu menciptakan iklim kelas dan sebagai model moral
bagi remaja yang diajar (Santrock, 2003). Sehingga interaksi yang cukup sering
dan kekuasaan yang dimiliki guru di dalam kelas secara tidak langsung
menciptakan proses interaksi dengan memasukkan nilai-nilai moral yang nantinya
bertujuan membentuk moral para remaja.
Sehingga metode pengajaran
nilai-nilai moral dan metode mengajar dengan nilai-nilai moral merupakan
kesatuan yang seharusnya tidak dipisahkan dalam penerapannya. Metode ini mampu
menciptakan suasana sekolah yang diharapkan bisa membentuk kepribadian para
remaja lebih bermoral. Poin positif ini bisa diambil dan mengapa tidak mulai
dicobakan metode ini ke dalam lingkungan sekolah.
Lalu pembahasan yang terakhir yaitu
ketika seorang remaja mengetahui dan memasuki lingkungan baru seperti kelompok
teman. Disini remaja akan lebih senang jika mereka membuat lingkungan
lebih kecil atau bisa kita sebut kelompok teman sebaya, atau terkadang konotasi
negatifnya orang-orang bilang sebagai geng. Pembentukkan kelompok-kelompok kecil
ini tidak bisa dielakkan karena sudah menjadi prinsip dasar dari ilmu
sosial (Henslin, 2007). Selain itu pembentukan kelompok kecil ini juga biasanya
dilandasi kepada kesamaan visi dari setiap remaja (Wulansari, 2009). Para
remaja tersebut merasa memiliki cara yang sama untuk mencapai tujuan sehingga
mereka melakukannya secara bersama-sama. Sehingga terbentuklah
kelompok-kelompok kecil ini dan menjadi lingkungan baru bagi interaksi sosial
seorang remaja yang nantinya juga akan mempengaruhi pembentukkan moral mereka.
Ketika remaja sudah berada di
lingkungan barunya, yaitu kelompok teman sebaya, maka proses interaksi disini
juga mulai berubah. Salah satu alasannya menurut Henslin (2007) karena teman
sebaya cenderung akan mempengaruhi pola perilaku remaja. Lalu dia menambahkan
bahwa ketika seorang remaja menjadi anggota suatu kelompok, berarti menyerahkan
kepada orang lain tentang keputusan remaja dalam berperilaku. Jadi ketika
seorang remaja masuk ke dalam sebuah kelompok, lalu anggota kelompok menentukan
bahwa setiap anggota harus melakukan ini dan itu, maka setiap anggota harus
taat. Ketaatan terhadap keputusan ini bukan karena ketakutan, tetapi lebih
karena ada perasaan yang mengikat antar anggota kelompok (Henslin, 2007).
Keputusan perilaku yang akan dijalankan remaja ditentukan oleh kelompok dan hal
ini lama kelamaan akan mengubah moral dari remaja yang bergabung tadi. Dan
akhirnya akan terlihat perubahan moral yang diakibatkan pergaulan dengan
anggota kelompok.
Setelah penulis pelajari lebih dalam
tentang kelompok teman, maka metode yang penulis ajukan adalah metode
persahabatan antar anggota kelompok. Metode ini sebelumnya sudah diteliti oleh
Monika Keller dan Wolfgang Edelstain (1991) yang berasal dari Institut Max
Plank, Jerman. Mereka meneliti 97 remaja yang berumur 7 sampai dengan 15 tahun
dan menyimpulkan dari hasi pengamatan dan wawancara mereka bahwa perkembangan
moral seorang remaja, seperti rasa tanggung jawab, saling mempercayai,
hubungan yang semakin dekat, semakin berkembang seiring perkembangannya umur
yang mulai dari 7 hingga 15 tahun.
Disini dapat dilihat bahwa metode
persahabatan antar anggota kelompok memiliki pengaruh yang besar bagi
perkembangan remaja. Dengan mengamati beberapa teori yang memberikan poin
positif tentang pengelompokan para remaja dan juga penelitian yang dilakukan
tentang persahabatan. Metode ini nantinya akan menciptakan tingkat kesadaran
moral yang sangat tinggi pada remaja karena menurut Henslin (2007), metode ini
lebih menekankan pada perubahan moral karena kenyamanan interaksi antara
anggota kelompok. Sehingga ini juga menjadi alasan bagi penulis mengajukan
metode persahabatan antar anggota kelompok. Dan penerapan metode ini hendaknya
mulai dilakukan oleh para remaja.
Dan disini muara dari uraian singkat
di atas dengan memperkuat kembali bahwa diperlukannya metode pembentukkan moral
bagi para remaja. Pentingnya metode disini dikarenakan tingkat moral remaja
saat ini sudah semakin menurun dengan munculnya berbagai kasus penyimpangan
moral yang terjadi pada remaja. Metode ini bertujuan untuk mengurangi ataupun
menghilangkan penyimpangan tersebut hingga menciptakan kembali pribadi-pribadi
yang bermoral atau dengan moral yang baik. Selanjutnya metode-metode yang
penulis ajukan dibagi berdasarkan pengelompokkan ke dalam lingkungan interaksi
remaja yang terdiri dari lingkungan keluarga, sekolah dan teman kelompok.
Dimulai dari lingkungan keluarga,
dengan menerapkan metode otoritatif yang menekankan pada kesepakatan yang
terjadi antara remaja dengan orangtuanya. Remaja di beri kebebasan dengan
batasan-batasan yang diajukan oleh orang tua. Sehingga nantinya akan terbentuk
remaja yang memiliki moral yang kompeten. Selanjutnya lingkungan sekolah dengan
menggunakan metode pengajaran moral dan mengajar dengan moral yang keduanya ini
tidak dapat dipisahkan dalam penerapannya. Metode ini mampu menciptakan suasana
sekolah yang diharapkan bisa membentuk kepribadian para remaja lebih bermoral.
Lalu yang terakhir adalah teman kelompok dengan metode persahabatan antar
anggota kelompok. Metode persahabatan ini nantinya akan menciptakan tingkat
kesadaran moral yang sangat tinggi pada remaja sehingga ini menjadi akhir
rangkuman dari ketiga metode tersebut.
Penerapan semua metode ini
diharapkan nantinya akan membentuk remaja-remaja dengan memiliki nilai moral
yang tinggi yang nantinya akan ikut memperbaiki nilai-nilai moral yang
menyimpang dan juga remaja-remaja yang memiliki kopetensi moral yang tinggi.
Diharapkan nantinya akan membentuk keluarga, lingkungan masyarakat, negara yang
menjalankan nilai-nilai moral yang ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar